Sabtu, 25 Mei 2013

JANGAN MENILAI UCAPAN ORANG YANG SEDANG JATUH CINTA

Assalamualaikum, wr. wb
Sahabatku,
Sepanjang hidup seorang pecinta Tuhan yang difikirkan adalah bagaimana dia bisa menyenangkan Tuhannya, bisa melayani Tuhannya dengan sepenuh hati. Ketika yang berbicara adalah cinta maka tidak ada lagi ukuran salah benar, pahala dan dosa bahkan tidak ada juga surga dan neraka. Bagaimana mungkin seorang yang sedang jatuh cinta bisa kita tawarkan kenikmatan lain sementara dia sedang hanyut dengan cintanya. Sejuta kenikmatan yang ditawarkan tidak akan mempengaruhi sedikitpun khusyuk dia kepada Sang Kekasih.

Cinta tidak mengenal logika dan akal pun terkadang menjadi lumpuh. Lalu bagaimana mungkin kita bisa menghukum ucapan orang-orang yang sedang dimabuk cinta. “Engkau adalah wanita tercantik sedunia, tak ada yang bisa menandingi kecantikanmu” atau “engkau adalah pria paling ganteng sejagad raya, hanya orang gila yang mengatakan dirimu tidak ganteng”. Kita yang sedang tidak jatuh cinta kemudian dengan santai menilai ucapan-ucapan orang yang sedang tenggelam dalam lautan cinta memakai logika orang sehat, tentu saja kita menilai mereka dengan penilaian yang salah. Wanita yang dimaksud dia “paling cantik sedunia”, jangankan bisa bertanding di ajang Miss Universe, dipertandingan wanita paling cantik se kelurahan saja bisa kalah. Tapi apakah kita bisa menggugat penilaian orang yang dimabuk cinta?? Jawabannya TIDAK.

Kalau ada yang menilai dengan penilaian orang normal maka yang menilai itu tergolong tidak Normal.

Begitu juga ucapan-ucapan dan tindakan orang yang sedang mabuk cinta dengan Tuhan atau mabuk cinta dengan Rasul maka logika tidak lagi bisa jalan. Saidina Abu Bakar Shiddiq ra menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya untuk orang yang dicintainya yaitu Nabi Muhammad SAW bahkan begitu cinta kepada Nabi, Aisyah anak kandung beliau pun diizinkan menikah dengan Nabi. Sahabat-sahabat Nabi menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk Nabi semata, bahkan nyawapun mereka berikan, semua bisa terjadi karena cinta.

Begitu asyiknya Nabi dengan Tuhannya, sehingga dalam sebuah riwayat pernah Nabi tidak mengenal sama sekali istri Beliau Aisyah. Berulang kali Aisyah memperkenalkan diri tetap Nabi tidak mengenalnya. Kemudian Aisyah sadar kalau Nabi sedang tenggelam dalam samudera cinta Tuhan, akhirnya Aisyah diam.

Rabi’ah al Adawiyah dengan cinta membara dan kondisi mabuk kepayang kepada Allah berdoa, “Ya Allah, jika aku beribadah kepadamu karena mengharapkan surga-Mu maka tutuplah pintu surga itu, seandainya aku beribadah karena takut neraka-Mu maka masukkan aku ke dalam neraka itu tapi kalau aku beribadah karena diri-Mu semata maka jangan palingkan wajah-Mu dari aku”.

Lalu ada orang yang merasa pandai bukanpandai merasa kemudian menilai ucapan Rabi’ah dan menuduh Rabi’ah dan kaum sufi orang yang tidak menginginkan surga dan tidak takut neraka.

Kemudian diciptakan fitnah dengan segudang argumen, dipakai ayat-ayat Al-Qur’an yang dipahami sejengkal pandangannya untuk menyalahkan ucapan Rabi’ah. Itu sama dengan orang mempertandingkan sosok yang disebut oleh orang jatuh cinta sebagai “wanita paling cantik sedunia” dalam ajang pemilihan wanita paling cantik. Inilah yang disebut orang bodoh yang tidak mengetahui kebodohannya.

Dalam kondisi mabuk Ketuhanan, Mansur al-Halaj berucap, “Aku adalah Kebenaran”, kemudian ucapan itu dijadikan bahan diskusi panjang dan rumit sepanjang zaman, padahal dalam kondisi sadar al-Halaj sendiri adalah seorang yang taat beribadah, paling takut dengan Allah bagaimana mungkin dia mau menyatakan diri sebagai Tuhan???. Al-Halaj bisa jadi hanya sekali mengeluarkan ucapan itu dalam kondisi mabuk cinta, artinya ucapan “Ana al-Haq” bukanlah ucapan keseharian dari al-Halaj. Sama juga dengan ucapan Nabi, “Aku adalah Ahmad tanpa Mim” serupa dengan ucapan Al-Halaj, apakah kita bisa menghukumi Nabi sebagai orang yang mengaku sebagai Tuhan?? Padahal dalam keseharian Nabi adalah seorang hamba yang sadar penuh sebagai hamba.

Itulah sebabnya Abu Yazid al-Bisthami memberikan nasehat, “Barangsiapa yang menuntun ilmu tanpa berguru maka wajib setan gurunya”. Ucapan-ucapan Sufi kita nilai dari sudut pandang ilmu diluar sufi maka tentu saja kita menganggap mereka sesat dan salah. Bagaimana mungkin seorang ahli hukum bisa menilai tindakan seorang dokter atau seorang insyiur karena memang kedua ilmu itu berbeda. Kalau ingin menilai kualitas seorang dokter maka harus memakai ilmu kedokteran. Kalau ingin menilai ucapan seorang pengamal tasawuf harus memakai ilmu tasawuf. Menuntut ilmu hanya dengan membaca tanpa memiliki Guru lebih banyak kelirunya dari pada benarnya.

Banyak ucapan-ucapan dari orang sufi yang dianggap keliru karena menilainya dengan menggunakan ilmu yang berbeda. Kadang dengan bangga mengatakan berdasarkan ayat ini, hadit riwayat ini ucapan sufi itu keliru dan sesat. Mereka yang menilai itu lupa bahwa kaum sufi itu adalah orang yang sangat paham Al-Qur’an dan Hadits bahkan atas izin Allah mereka sanggup memahami lapisan-lapisan yang tersirat dan tersembunyi dari tersuratnya Al-Qur’an. Alangkah bijaknya kalau ada ucapan tokoh Sufi yang tidak kita pahami atau tidak lazim jangan buru-buru menilai salah dengan ilmu kita yang terbatas, tanyakan kepada orang yang ahli dibidangnya agar mendapat bimbingan.

"Jangan pernah menilai ucapan orang yang sedang jatuh cinta karena ucapannya tidak bisa dijadikan dasar hukum sebagai benar atau salah. Hanya orang yang tenggelam dalam cinta saja yang bisa memahami ucapan orang yang dimabuk cinta."

Selamat siang sahabatku. Happy Weekend ya, dan jangan lupa saling berlomba dalam kebaikan dan saling berpesan dalam kebaikan dan kebenaran.

Bâraka Allâhu fîkum. Amin
Allahumma shali ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Sponsor